diskusi yang mendalam antara Iwan Setiawan dan narasumber Muhammad Ihsan Budi Prabowo, seorang mahasiswa sejarah doktoral dari UIN Sunan Kalijaga, mengenai hubungan antara Muhammadiyah dan Orde Baru di Indonesia. Tema utama yang diangkat adalah apakah Muhammadiyah dimanjakan oleh Orde Baru ataukah ini hanya mitos yang salah kaprah. Diskusi mengurai sejarah perkembangan Muhammadiyah selama era Orde Baru (1966-1998), dengan membedah realitas politik, sosial, pendidikan, dan posisi Muhammadiyah dalam pemerintahan Orde Baru.
Muhammad Ihsan mengungkapkan bahwa pandangan bahwa Muhammadiyah dimanjakan Orde Baru perlu dikritisi secara komprehensif dan historis. Di era awal Orde Baru, Muhammadiyah mengalami tekanan politik yang cukup besar terutama dalam ranah politik keumatan, termasuk melalui pembubaran partai Parmusi yang didirikan oleh orang Muhammadiyah dan dimasukkan dalam fusi partai yang memecah kekuatan politik Islam. Dalam konteks politik, Muhammadiyah justru berseberangan dengan pemerintah dan menghadapi tekanan berkelanjutan, sehingga anggapan “dimanjakan” tidaklah tepat.
Namun, dalam sektor pendidikan dan birokrasi, Muhammadiyah memang mengalami perkembangan signifikan. Banyak kader Muhammadiyah yang sudah terdidik melalui jaringan sekolah Muhammadiyah sejak zaman kolonial dan kemudian menduduki posisi penting dalam birokrasi dan lembaga pendidikan selama Orde Baru. Ini bukan karena dimanja oleh rezim, tetapi lebih karena keterbatasan sumber daya manusia terdidik pada masa itu dan kemampuan Muhammadiyah mempersiapkan kadernya.
Muhammad Ihsan juga menyampaikan bahwa percepatan pembangunan di bidang pendidikan tinggi Muhammadiyah memang terjadi pada masa Orde Baru seiring kebutuhan tenaga ahli untuk mendukung pembangunan nasional. Hubungan pribadi antara ketua Muhammadiyah saat itu, Amien Rais, dengan Presiden Soeharto turut memberikan ruang bagi pertumbuhan lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Di akhir diskusi, dijelaskan bahwa anggapan bahwa Muhammadiyah “dimanja” oleh Orde Baru adalah mitos yang tidak sepenuhnya benar. Muhammadiyah menerima beberapa keuntungan pendidikan dan birokrasi yang bersumber dari kualitas kadernya yang terdidik. Namun secara politik dan sosial, organisasi ini menghadapi tantangan dan tekanan yang berat. Oleh karena itu, status “manja” Orde Baru terhadap Muhammadiyah adalah pandangan yang terlalu sederhana dan berlebihan. Kesadaran akan sejarah ini mendorong masyarakat Muhammadiyah untuk melihat masa kini dengan objektif dan tidak terjebak dalam romantisasi masa lalu.
– 📜 Diskusi mendalam tentang hubungan Muhammadiyah dan Orde Baru, mengkaji realitas dan mitos.
– 🏛️ Muhammadiyah menghadapi tekanan politik kuat di masa Orde Baru, termasuk pembubaran partai politiknya.
– 🎓 Muhammadiyah berkembang pesat di bidang pendidikan dan memiliki banyak kader terdidik yang mengisi birokrasi.
– 🤝 Hubungan personal Amien Rais dengan Soeharto berkontribusi pada berkembangnya perguruan tinggi Muhammadiyah.
– ⚖️ Penilaian sejarah menegaskan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dimanjakan, melainkan mendapatkan peluang dari kapasitasnya sendiri.
– 📉 Diskursus mengenai alih kepemimpinan Kementerian Agama dari Muhammadiyah ke rezim lain setelah reformasi.
– 🔮 Pentingnya melihat masa depan Muhammadiyah dengan perspektif realistis tanpa romantisasi Orde Baru. Wawasan Kunci
– 🕰️ Pendekatan Historis Kompleks: Memandang hubungan Muhammadiyah dan Orde Baru harus menggunakan kerangka waktu dan konteks yang berbeda (awal, tengah, dan akhir Orde Baru). Ini menghindarkan kita dari penilaian simplistik yang menganggap semua waktu “dimanja” atau sebaliknya tertekan. Kompleksitas sejarah harus dihargai agar pemahaman lebih objektif.
– ⚔️ Tekanan Politik dan Pembatasan Partai Islam: Masa Orde Baru bukan masa kemudahan bagi umat Islam dan Muhammadiyah dalam ranah politik. Disaat partai Islam seperti Parmusi dibubarkan dan dipaksa bergabung ke dalam fusi partai, politik Islam mengalami fragmentasi dan penurunan pengaruh yang serius. Hal ini menunjukkan Orde Baru bukan berdiri di belakang Muhammadiyah dalam ranah politik.