Jakarta – Selasa (26/8), Sesi seminar panel dalam Simposium Kawasan Timur Tengah dan Afrika 2025 kembali menghadirkan diskusi yang menggugah pemikiran. Bertempat di Aula Ar-Razzaq, Masjid Istiqlal Jakarta. Drs. H. Imam Addaruqutni, M.A., seorang tokoh Muhammadiyah dan cendekiawan Muslim Indonesia, hadir menyampaikan pandangannya mengenai “Strategi Muslim Indonesia dalam Mempertahankan Identitas Keislaman yang Moderat di Tengah Arus Globalisasi Digital.”
Dalam paparannya, Imam Addaruqutni menekankan bahwa identitas keislaman modern harus mampu bertahan di tengah derasnya arus globalisasi, khususnya di era Society 5.0. Hal ini, menuntut adanya transformasi pemikiran agar Islam tetap relevan dengan tantangan zaman.
“Islam moderat yang kita maksud berbeda dengan konsep moderatisme Barat. Islam moderat harus menjunjung tinggi tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleransi), berorientasi pada harmoni umat, menghargai keberagaman, serta menolak kekerasan dan radikalisme tanpa mengabaikan ajaran agama,” ungkapnya.
Lebih jauh, Imam Addaruqutni menguraikan perspektif Muhammadiyah dalam memandang perkembangan ilmu pengetahuan. Ia menyebut Muhammadiyah tidak terlalu menekankan pada ilmu revolusioner (ilmu tsauri), melainkan pada ilmu ijtihadi sebagai proses progresif yang berlandaskan attaqwa. Prinsip tajdid (pembaruan) dan islah (reformasi) dinilainya menjadi pilar pertumbuhan yang mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas.
Ia juga menyoroti cepatnya perkembangan teknologi digital yang kerap mempercepat kehidupan manusia, bahkan berpotensi menguasai manusia jika tidak dikendalikan. Menurutnya, puncak revolusi digital sempat terlihat saat pandemi COVID-19, ketika interaksi manusia lebih banyak digantikan oleh ruang digital. “Teknologi boleh maju, tetapi peradaban harus tetap berbasis pada manusia, hati, dan akal budi. Jika tidak, kita akan kehilangan identitas dan kemanusiaan,” tegasnya.
Ia menambahkan, penting bagi umat Islam untuk membangun kesadaran moderasi beragama melalui penajaman pemikiran, diskusi, serta intervensi nyata, bukan sekadar lewat bacaan atau pengoperasian teknologi. “Agama apa pun harus diperlakukan dengan terhormat. Perbedaan tidak seharusnya menjadi faktor perpecahan, tetapi dijaga untuk membangun peradaban yang kokoh,” ujarnya.
Menutup pemaparannya, Imam menegaskan bahwa strategi dakwah di era modern harus rasional, damai, dan dapat diterima oleh berbagai kalangan. “Manusia harus bisa mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya. Kita tidak boleh membiarkan teknologi membuat manusia kehilangan identitas dan moralitasnya,” pungkasnya.
Sebagai harapan, forum ini menjadi momentum bagi generasi muda Islam untuk terus menguatkan identitas keislaman yang moderat, menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, serta memastikan teknologi tetap menjadi alat bagi manusia, bukan pengendali. Dengan begitu, peradaban Islam dapat tumbuh sebagai peradaban yang damai, dan tetap berakar pada nilai kemanusiaan.