Diskusi mengenai peristiwa G30S 1965 menyoroti bagaimana Muhammadiyah merespons tragedi nasional tersebut. Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi Islam pertama yang mengeluarkan pernyataan resmi mengutuk G30S dan menuntut pengadilan terhadap dalang serta pelakunya. Pernyataan sikap itu diterbitkan hanya beberapa hari setelah peristiwa terjadi, di bawah kepemimpinan Ketua PP Muhammadiyah saat itu, Ahmad Badawi.
Benturan sosial pascaperistiwa tersebut turut mengakibatkan gugurnya dua kader Muhammadiyah, Margono dan Aris Munandar, dalam aksi demonstrasi di Yogyakarta pada 1966. Keduanya kemudian dianugerahi sebagai Putra Utama Muhammadiyah dan dikenang melalui pembentukan Laskar Ampera Margono-Aris.
Meski mengalami tekanan dan kehilangan, Muhammadiyah tidak merespons dengan kekerasan. Sebaliknya, langkah humanis dilakukan melalui penguatan dakwah, pembangunan masjid di wilayah rawan konversi, peningkatan layanan pendidikan dan kepemudaan, serta pembinaan sosial melalui Panti Asuhan bagi anak-anak korban konflik dan eks tahanan politik. Muhammadiyah juga mengirim mubaligh ke Pulau Buru untuk pembinaan spiritual para tahanan.
Peristiwa 1965 dipandang sebagai tragedi nasional yang menempatkan banyak pihak sebagai korban sejarah. Muhammadiyah menegaskan pentingnya menjadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran bagi rekonsiliasi dan masa depan bangsa.