BRASIL – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam acara The 2024 G20 Interfaith Forum and PaRD Annual Forum on Religion and Sustainable Development yang digelar pada tanggal 19-21 Agustus 2024 di Brazil turut berbagi pengalaman Muhammadiyah dalam ketahanan bencana pada masa Covid-19.
Mu’ti diawal presentasinya menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling sukses dalam menangani pandemi COVID-19. Kesuksesan ini ditentukan oleh strategi dan kebijakan yang komprehensif yang melibatkan aktor-aktor dan sektor-sektor dari pemerintah dan partisipasi sipil aktif, termasuk Muhammadiyah.
“Selama dan pasca COVID-19, Muhammadiyah menyelenggarakan program-program untuk membantu korban dan membangun lingkungan spiritual, sosial, budaya, dan fisik yang kondusif untuk meringankan pandemi COVID-19 dan membangun kembali kesehatan mental dan ekonomi,”jelas Mu’ti pada Rabu (21/8).
Sementara dari segi organisasi, Muhammadiyah mendirikan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang tugas dan tanggung jawab utamanya adalah mengoordinasikan kebijakan dan program Muhammadiyah untuk COVID-19.
“Secara teologis, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa dan protokol spiritual selama Covid-19 yang berisi landasan teologis dalam memahami pandemi, dan menjalankan ibadah selama pandemi, dan panduan praktis untuk menghindari penyebaran pandemic,”papar Mu’ti.
Selain itu, Muhammadiyah juga melibatkan lebih dari 22.000 relawan dari dokter medis, konsultan psiko-sosial, perawat, serta bantuan dan penyelamatan yang berbasis di 82 rumah sakit dan semua struktur kepemimpinan Muhammadiyah dari tingkat nasional hingga lokal.
Muhammadiyah juga turut menyediakan shelter, membangun mitra dengan pemerintah, perusahaan, lembaga internasional, dan organisasi lintas agama menyelenggarakan vaksinasi massal, edukasi publik, dan pengembangan masyarakat.
Meskipun Covid-19 telah berakhir, Mu’ti mengungkapkan bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang rentan terhadap penyakit. Apalagi Indonesia terletak di ring of fire, sehingga Indonesia berisiko terkena bencana alam.
Dalam forum tersebut Mu’ti menyebutkan empat hal yang dapat dilakukan oleh organisasi keagamaan dan lintas agama untuk membangun masyarakat yang sehat. Pertama, memperkuat peran agama dan kepercayaan sebagai panduan hidup dan pemecahan masalah yang bermakna.
“Hal ini dapat dilakukan dengan menginterpretasi ulang teks-teks keagamaan yang progresif dan kontekstual serta membuat doktrin keagamaan masuk akal untuk kehidupan sehari-hari,”jelas Mu’ti.
Kedua, membangun pemahaman dan kesadaran tentang penyakit melalui edukasi publik yang melibatkan pendidik, pemimpin agama, orang berpengaruh (influencer), masyarakat sipil, dan sebagainya.
“Hal ini juga penting untuk membangun gaya hidup sehat dengan memperkuat peran keluarga, lingkungan, sekolah, organisasi pemuda, dan fasilitas publik sebagai lingkungan yang kondusif untuk kesehatan fisik, sosial, dan spiritual,”imbuh Mu’ti.
Ketiga, mengembangkan kemitraan antara pemerintah, lembaga internasional, serta organisasi keagamaan dalam ketahanan bencana.
“Kemitraan yang dibangun termasuk mitigasi bencana, kesiapsiagaan mental, dan partisipasi masyarakat yang tulus. Membangun masyarakat yang sehat tidak hanya bergantung pada teknologi medis yang canggih tetapi juga pola pikir dan mentalitas masyarakat terhadap bencana dan bagaimana mereka dapat menyelamatkan dan menjaga diri mereka sendiri serta alam semesta,”ungkap Mu’ti.
Keempat, memanfaatkan tradisi nasional atau lokal, dalam konteks Indonesia terdapat tradisi gotong royong yang berarti bekerja bersama, bergandengan tangan untuk kebaikan dan kebaikan bersama.